Sponsor

Tempat Wisata Monumen Nasional



Ada sebuah ungkapan populer yang berbunyi “Belum disebut ke Jakarta sebelum melihat Monas”. Entah siapa yang pertama kali membuat ungkapan tersebut dan mengapa kalimat tersebut sampai diungkapkan. Mungkin karena dari puncak Monas seseorang dapat melihat landskap Jkt dari atas ketinggian atau mungkin karena begitu pentingnya keberadaan Monas sebagai salah satu landmark yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia atau karena alasan yang lain.

Tapi yang pasti, bagi Anda yang berkesempatan untuk datang ke Jkt, sebaiknya memang menyempatkan diri berkunjung ke Monas. Karena dari kunjungan itulah akan banyak pengetahuan yang bisa didapatkan, utamanya tentang sejarah bangsa Indonesia, serta akan semakin tebal rasa nasionalisme dan kecintaan Anda terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Perasaan bangga bangsa Indonesia terhadap keberadaan Monas, terkadang juga memunculkan joke-joke lucu yang mengabarkan bahwa Monas roboh. Kabar serupa April Mop tersebut dikirimkan melalui pesan singkat sehingga membuat penerimanya penasaran dan berusaha mencari kebenarannya lewat media cetak atau browsing di internet. Sudah barang tentu berita tentang robohnya Monas tidak akan pernah dijumpai, karena kecil kemungkinan Monas roboh kecuali atas kehendak Tuhan melalui bencana dahsyat atau sebab-sebab yang lain.
Pemandangan Area Taman Monumen Nasional
Kokohnya bangunan Monas tidak perlu diragukan lagi, karena untuk membuat pondasinya saja ditancapkan 284 pasak beton ditambah 360 pasak bumi untuk pembuatan pondasi Museum Sejarah Nasional. Sementara untuk material yang lain, digunakan bahan-bahan berkualitas, karena Soekarno memang menginginkan dapat memiliki monumen nasional yang kokoh seperti halnya menara Eiffel yang ada di Paris, Perancis. Pembangunan Monas tersebut secara resmi diawali pada 17 Agustus 1961 melalui sebuah upacara yang dipimpin oleh Presiden Soekarno.

Namun yang namanya joke, apapun bisa dijadikan bahan guyonan, termasuk Monas. Karena siapapun yang menerima informasi tentang robohnya Monas, dalam benak mereka pasti akan terbayang, bagaimana nasib orang-orang yang tertindih “Api Nan Tak Kunjung Padam” yang beratnya hampir 2 ton, atau membayangkan bagaimana orang-orang saling berebutan memunguti emas seberat 50 kg yang melapisi lidah api Monas.

 

Mengenal Sekilas tentang Tugu Monas

Perjalanan panjang mengiringi proses pembangunan Tugu Monas. Setelah pemerintah RI yang semula sempat pindah ke Yogyakarta kembali lagi ke Jakarta pada tahun 1950, menyusul pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda, Presiden Soekarno menginginkan dan merencanakan memiliki sebuah monumen nasional yang tidak kalah dari Eiffel. Pembangunan monumen nasional tersebut menurut Soekarno sangat penting untuk mengenang serta melestarikan nilai-nilai perjuangan dari para pahlawan di masa revolusi kemerdekaan, agar nantinya dapat menggugah semangat patriotisme dan membangkitkan inspirasi generasipenerus bangsa.

Menyusul tercetusnya keinginan dan harapan dari Soekarno, dibentuklah sebuah Komite Nasional pada tanggal 17 Agustus 1954 dan diselenggarakanlah sayembara pembuatan rancangan monumen nasional setahun kemudian. Melalui sayembara tersebut, terkumpul 51 karya dari para peserta, namun hanya 1 karya yang memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh panitia yaitu desain karya Frederich Silaban.

Belum puas dengan hasil sayembara yang pertama, digelarlah sayembara kedua pada tahun 1960. Kali ini jumlah pesertanya lebih banyak, yaitu 136 orang. Namun, dari seluruh karya yang masuk, tidak ada satu pun yang memenuhi kriteria dan harapan dari panitia, sehingga dewan juri memutuskan untuk menunjukkan rancangan Silaban kepada Soekarno. Sayangnya, satu-satunya karya dari peserta sayembara yang memenuhi kriteria dewan juri tersebut, kurang begitu disukai oleh Soekarno, karena yang dia inginkan adalah sebuah monumen yang memiliki bentuk lingga dan yoni.
Meski demikian, Silaban masih dipercaya oleh Presiden RI tersebut untuk membuat rancangan dalam bentuk yang lain, sehingga terciptalah karya Silaban yang kedua. Kali ini persoalan yang muncul berbeda, karya kedua Silaban dipandang terlalu spektakuler serta membutuhkan anggaran yang terlalu besar sehingga tidak mampu ditanggung oleh anggaran pemerintah. Apalagi kondisi perekonomian Indonesia pada saat itu sangat buruk, banyak rakyat yang menderita busung lapar karena kurangnya bahan pangan.

Untuk mencari jalan tengah, dicarilah solusi yaitu membuat rancangan bangunan dengan ukuran yang lebih kecil. Namun, usulan tersebut ditolak oleh Silaban. Dia lebih suka dan menyarankan agar pembangunan monumen nasional ditunda sampai kondisi perekonomian Indonesia membaik. Karena Silaban tidak bersedia, maka Soekarno menunjuk R.M. Soedarsono agar melanjutkan hasil rancangan sebelumnya. Di tangan Sordarsono inilah unsur angka 17, 8, dan 45 dimasukkan guna melambangkan angka sakral bagi bangsa Indonesia, yaitu tanggal dikumandangkannya Proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.

Akhirnya, Monumen Nasional (Monas) pun dibangun di atas lahan seluas 80 hektar yang diarsiteki Frederich Silaban dan R.M. Soedarsono. Proses pembangunn dilakukan dalam 3 tahap, tahap pertama pada kurun waktu 1961/1962 -1964/1965 yang ditandai dengan penancapan pasak beton pertama oleh Presiden Soekarno. Setelah pembangunan pondasi rampung secara keseluruhan disusuk dengan pembuatan dinding museum pada bagian dasar bangunan dan pembangunan obelisk yang selesai pada bulan Agustus 1963.
Monas dalam Tahap Pembangunan
Karena terjadi peristiwa Gerakan 30 September, proses pembangunan Monas tahap kedua yang dicanangkan akan berlangsung selama kurun waktu 1966 – 1968 sempat terhenti. Sedang untuk pembangunan tahap ketiga berlangsung sepanjang tahun 1969 – 1976 dengan melakukan penyempurnaan terhadap bangunan museum lewat penambahan diorama. Rampungnya pembangunan bukan berarti telah tuntas seluruh permasalahan, salah satu diantaranya adalah terjadinya kebocoran yang membuat bagian dasar museum tergenang oleh air.

Tugu Monas yang pembangunannya digagas oleh Soekarno itu akhirnya diresmikan dan dibuka untuk umum oleh Presiden Soehato pada 12 Juli 1975. Lokasi tempat berdirinya Monas dikenal dengan sebutan Medan Merdeka. Sedang Lapangan Monas sendiri sempat mengalami pergantian nama sampai 5 kali. Awalnya bernama lapangan Gambir, lalu Lapangan Ikada, selanjutnya menjadi Lapangan Merdeka, berubah lagi menjadi Lapangan Monas hingga akhirnya bernama Taman Monas.
Monumen Nasional memiliki ketinggian 132 meter (433 kaki) dengan bagian puncak bermahkota lidah api yang terbuat dari perunggu berlapis emas seberat 35 kg. Mahkota berbentuk lidah api ini menggambarkan semangat perjuangan bangsa Indonesia yang menyala-nyala dan tidak pernah padam dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sekaligus dalam mengisi kemerdekaan.

Bentuk yang diambil dari Tugu Monas merupakan konsep pasangan universal yang dikenal dengan sebutan Lingga dan Yoni. Lingga dalam hal ini berwujud tugu obelisk yang tinggi menjulang sebagai lambang dari elemen maskulin atau laki-laki atau lambang siang hari yang memiliki sikap positif dan aktif. Sedang pelataran dengan bentuk cawan yang menjadi landasan obelisk merupakan yoni yang melambangkan elemen feminin atau perempuan atau lambang malam hari yang memiliki sifat pasif dan negatif.

Disamping itu, bentuk Tugu Monas juga kerap ditafsirkan sebagai bentuk sepasang Alu dan Lesung yang menjadi alat penumbuk padi tradisional para petani di Indonesia atau melambangkan kemakmuran, sehingga Monas dipandang memiliki dimensi budaya Indonesia.

Tugu Monas memiliki obelisk yang menjulang setinggi 117,7 meter yang berdiri di atas landasan berbentuk persegi setinggi 17 meter berlapis batu marmer dari Italia. Untuk mempercantik suasana di sekitar Monas sekaligus sebagai sistem pendingin udara alami, dibangun sebuah kolam berukuran 25 x 25 meter di area Taman Medan Merdeka Utara. Disitu juga dapat ditemui kolam air mancur serta Patung Pengeran Diponegoro menunggang kuda yang dibuat dari perunggu dengan bobot seberat 8 ton. Patung hadiah dari Konsulat Jenderal Honores di Indonesia ini dipahat oleh seorang seniman dari Italia yang bernama Prof. Coberlato.

Untuk memasuki bangunan Monas, wisatawan harus melewati pintu masuk dan menyusuri terowonan yang ada di kedalaman 3 meter di bawah taman serta jalan silang Monas. Ketika pengunjung kembali lagi di permukaan tanah yang ada di sebelah Utara Monas, pengunjung dapat melanjutkan perjalanannya dengan melihat-lihat seluruh bagian yang ada di Monas, diantaranya: relief sejarah perjuangan Indonesia, museum sejarah nasional, ruang kemerdekaan serta pelataran puncak monumen.
 

Daya Tarik Tugu Monas

Taman Monas
Meski merupakan objek wisata edukasi dan wisata sejarah, Tugu Monas juga menghadirkan nuansa alami yang dapat menyejukkan mata berupa sebuah taman yang dihiasi pepohonan lengkap dengan kolam air mancur. Pada malam hari, air mancur ini akan menyuguhkan tarian dengan melakukan gerakan yang meliak-liuk diiringi alunan lagu serta permainan cahaya laser berwarna-warni yang menarik untuk dilihat.

Pada siang hari, pengunjung dapat bermain dengan kawanan rusa yang didatangkan dari Istana Bogor untuk mempecantik kawasan taman. Selain itu bangku-bangku yang menghiasi sudut-sudut taman dapat dimanfaatkan untuk bersantai sambil menikmati sejuk dan segarnya udara di bawah rindang pepohonan.

Bagi yang gemar berolahraga, di taman ini juga tersedia jogging track dan area yang berisi hamparan batu-batu tajam yang dapat difungsikan sebagai sarana pijat refleksi dengan cara menginjak batu-batu tersebut. Tersedia pula beberapa lapangan basket dan futsal yang dapat digunakan oleh siapapun dengan gratis dan terbuka untuk umum. Keberadaan lapangan basket dan futsal ini membuat suasana di sekitar taman pada sore hari selalu dipenuhi anak-anak muda yang bermain dan berolahraga.
Jika keberadaan taman cenderung hanya sebagai pelengkap dari perjalanan wisata ke Tugu Monas, berbeda halnya dengan bagian dalam dari monumen kebanggaan bangsa Indonesia ini. Karena itulah bagian-bagian yang mengisi setiap sudut bangunan Tugu Monas, wajib untuk dijelajahi. Bagian-bagian penting tersebut diantaranya adalah:

 

Museum Sejarah Nasional

Diorama Sejarah Kemerdekaan Indonesia di Monas
Museum ini berada di bagian dasar Monas dengan kedalaman 3 meter di bawah permukaan tanah. Museum Sejarah Nasional memiliki ukuran 80 x 80 meter2 dengan daya tampung sampai dengan 500 orang. Ruangan yang berlapis marmer ini memiliki 51 diorama yang terbagi atas 48 diorama pada keempat sisinya serta 3 diorama pada bagian tengah.

Diorama yang terdapat di museum ini menggambarkan berbagai peristiwa bersejarah di Indonesia, yang berlangsung sejak jaman pra-sejarah sampai dengan masa Orde Baru. Untuk dapat mempelajari perjalanan sejarah bangsa Indonesia secara terinci dan berurutan, pengunjung harus memulainya dari diorama yang berada di sudut Timur Laut dan terus bergerak searah jarum jam sambil mengamati satu persatu dari diorama yang ada.

Lewat diorama itulah pengunjung akan dapat mengetahui seperti apa bangsa Indonesia pada jaman pra-sejarah, jaman Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit, masa-masa penjajahan, perjuangan para pahlawan melawan VOC, masa pergerakan Nasional, jaman pendudukan Jepang, perang kemerdekaan, masa revolusi sampai dengan jaman Orde Baru dimasa pemerintahan Presiden Soeharto.

 

Relief Sejarah Indonesia

Relief Mahapatih Gajah Mada di Monas
Relief ini berada di sudut halaman luar dan mengelilingi bangunan monumen. Relief yang terpahat pada dinding tersebut juga menggambarkan Sejarah Indonesia. Untuk mengetahui perjalanan panjang bangsa Indonesia dapat dilakukan dengan mengamati satu persatu dari relief yang ada, dimulai dari sudut Timur Laut menuju sudut Tenggara, berlanjut ke Barat Daya hingga ke Barat Laut.

Melalui relief tersebut akan dapat diketahui kejayaan Nusantara pada jaman dahulu kala lewat pahatan Sejarah Kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit, masa-masa penjajahan Belanda, perjuangan para Pahlawan Nasional, terbentuknya organisasi modern untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, peristiwa Sumpah Pemuda, masa Perang Dunia II dan pendudukan Jepang, pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Agresi Militer yang dilakukan Belanda dan Perang Kemerdekaan sampai dengan abad modern dimana Indonesia mencapai masa pembangunan.

Relief dan patung-patung yang mengelilingi bangunan monumen tersebut terbuat dari bahan semen yang menggunakan kerangka logam serta pipa dengan bentuk yang artistik dan bercita rasa seni. Namun sayang, ada beberapa patung yang terlihat rusak karena terkikis oleh panas dan hujan.

Lokasi: Lapangan Medan Merdeka, Jakarta Pusat, Provinsi DKI Jkt, 14430
Map: KlikDisini
HTM: Pelajar Rp.4.000, Mahasiswa Rp.8.000, Dewasa Rp.15.000
Buka/Tutup: 08.00 – 15.00 WIB dan 19.00 – 22.00 (Selasa – Jumat), 19.00 – 00.00 (Sabtu – Minggu)
Telepon: (021) 3822255

Share:

0 Comments