Wisata Alam Kawah Ijen – Banyuwangi, Jawa Timur
Perjalanan ke Kawah Ijen memberi banyak pembelajaran. Tentang keberuntungan, dan juga peringatan. Ternyata benar, traveling memang tak sekadar destinasi.
Dekat maupun jauh, sederhana maupun mewah, saya rasa setiap perjalanan punya makna dan pelajarannya masing-masing. Sebuah perjalanan mengunjungi Kawah Ijen yang terletak di timur pulau Jawa, seakan mengajarkan saya untuk kembali tahu diri agar tak pernah sekalipun meremehkan alam.
“Cuma dua jam, kok. Habis itu, sampai.”
Apalagi, bapak-bapak penjual kopi setempat juga mengatakan hal yang sama. “Ah, dekat itu, Mbak. Track-nya juga jelas.”
Ingatan pernah beberapa kali menjamah gunung pun rupanya membuat saya menganggap setiap tempat: sama. Tapi ternyata, segala anggapan remeh itu memadai biang kekacauan saat pendakian. Lima belas menit pertama, napas saya tersengal. Sinyal yang memberi pertanda, ada yang tak beres dengan tubuh. Saya rapatkan jaket tebal, pun juga sarung tangan serta kaus kaki yang membungkus erat badan. Saya berasumsi; palinglah karena suhu dingin.
Melihat blue fire yang tersohor itu sedang memercik dengan indahnya—membuat khayalan saya mengawang ketika di perjalanan. Masalahnya, karena dadakan, saya belum sempat browsing—cek lokasi. Sementara sebentar-sebentar saya sibuk beristirahat ngos-ngosan, gerombolan bule di belakang saya menyusul, lalu dengan santainya mendaki sambil memakai kaus tanpa lengan.
Sebuah ungkapan yang telanjur judgemental memang. Sebab, menurut saya, ada banyak sebab yang mengakibatkan seseorang harus berada dalam kondisi tersebut. Mungkin saja, mereka punya tenggat, semacam target waktu pencapaian demi menakhlukan diri sendiri. Mungkin saja, dalam diri mereka ada hasrat yang menggebu-gebu untuk sampai di puncak. Atau mungkin, kecepatan berjalan mereka ya, memang sudah dari sananya secepat itu. Maka saya pun ikhlas-ikhlas saja melihat satu per satu rombongan mulai meninggalkan. Malah, saya menganjurkan agar mereka meninggalkan saya, sebab sudah kepalang tak tega jika harus membiarkan mereka mengikuti saya.
Tetapi dengan alon-alon asal kelakon, menapaklah saya satu-satu. Beberapa teman, yang saya kenal mendadak, dengan sabar menunggu saya. Ada pula yang menuntun, pelan-pelan. Akibatnya, saking tak enak-nya, sibuklah saya mengecek waktu. Sebentar-sebentar saya tanya jam, lalu segera panik begitu jam menunjuk angka empat pagi, padahal (katanya) baru separuh jalan. Jadilah sibuk saya meminta maaf, lalu terkadang mengusir para relawan baik hati sedari tadi sibuk menunggu untuk lebih dulu berjalan, melihat blue fire idaman yang katanya cuma ada dua tempat di dunia: Islandia dan Banyuwangi, Indonesia. Antisipasi kalau-kalau, waktu tidak memungkinkan dan akhirnya mereka gagal sampai tepat waktu.
Tetapi rasa pesimis saya mendadak kalah saat saya tanya bapak pengangkut belerang tentang bobot belerang yang biasanya ia bawa. “Ini cuma tiga puluh kilo, Mbak. Biasanya, bisa enam puluh sampai delapan puluh kilo,” katanya santai.
Saya langsung kaget. Tiga puluh kilo itu setara bobot adik kecil saya dua tahun lalu. Dalam sehari, mereka bisa bolak-balik, naik-turun hingga 3-4 kali.
Karenanya, saya pun termotivasi untuk berjalan cepat-cepat. Semakin cepat, semakin baik.
Seorang teman menghibur. “Yasudah, kita bisa keliling-keliling dulu. Bagus banget, nih.”
Sebuah kawah berwarna hijau-kebiruan terbentang luas di hadapan saya. Asap putih menyembul dari permukaannya. Orang bilang: pakailah masker, belerangnya sangat menusuk. Tetapi, sedikit buntung di awal ternyata berbuah untung. Bau belerang yang menusuk ini tidak punya efek pada hidung saya yang banal, karena mampet sedari awal.
Maka saya pun buru-buru sibuk naik undakan-undakan khas gunung yang mengitari saya, demi pemandangan indah dan berbeda dari ketinggian, sementara di sekeliling sibuk melakukan gerakan cepat: mencopot masker saat berfoto, lalu buru-buru memakainya karena tidak tahan bau belerang.
Semesta itu besar, ia luas dan tak berbatas. Sementara kita manusia, cuma berdiri kecil di tengah-tengahnya. Seperti debu yang bisa hilang dalam satu kibasan tangan, siapa kita berani merusak, lalu menantang angkuh seolah jadi yang paling kuat?
Ya, ironis memang. Pria bule. Bukan orang Indonesia.
*Tambahan:
Setelah agak sehat, sebetulnya saya sangat penasaran mengapa saya tidak bisa melihat blue fire yang sempurna. Setelah googling dan bertanya sana-sini, barulah saya mengerti, blue fire hanya bisa dilihat di malam hari, di mana pengunjung seharusnya sudah mendaki sejak pukul 00.00 WIB. Tidak disarankan pula mengunjungi Ijen saat musim penghujan, selain nyalanya lebih terang saat musim kemarau, juga cukup rawan karena Kawah Ijen kerap kali mengelurkan gas beracun saat musim penghujan.
Setelah mengetahui informasi ini, harus diakui saya sedikit menyesal karena mendadak memutuskan ikut trip tanpa persiapan. Blunder yang ke-sekian kalinya. Tapi ya sudahlah. Yang terpenting, selalu ada pelajaran yang bisa diambil. Toh, pergi ke suatu tempat bukan hanya tentang mengeksplorasi yang indah-indah saja, bukan?
1. Setiap Tempat Berbeda: Punya Keistimewaan, Sekaligus Risikonya Masing-Masing
“Cuma dua jam, kok. Habis itu, sampai.”
Ingatan pernah beberapa kali menjamah gunung pun rupanya membuat saya menganggap setiap tempat: sama. Tapi ternyata, segala anggapan remeh itu memadai biang kekacauan saat pendakian. Lima belas menit pertama, napas saya tersengal. Sinyal yang memberi pertanda, ada yang tak beres dengan tubuh. Saya rapatkan jaket tebal, pun juga sarung tangan serta kaus kaki yang membungkus erat badan. Saya berasumsi; palinglah karena suhu dingin.
2. Apa Pun Medannya, Persiapan Tetap Diperlukan
Namun rupanya, kekhawatiran segera bisa ditepis, sebab saya justru melega, sepasang kaus kaki dan sarung tangan yang saya bawa sekenanya, sebab dipersiapkan secara mendadak, justru tak butuh teman pelapis. Saya yang kadung meremehkan bahwa perjalanan ini pastilah berlangsung aman justru membuat kesalahan fatal setelahnya: tak cukup tidur, tanpa sarapan, dan cuma menyantap semangkuk mie instan di malam hari. Belum lagi, saat perjalanan berangkat, kondisi badan rupanya enggan diajak kompromi.Melihat blue fire yang tersohor itu sedang memercik dengan indahnya—membuat khayalan saya mengawang ketika di perjalanan. Masalahnya, karena dadakan, saya belum sempat browsing—cek lokasi. Sementara sebentar-sebentar saya sibuk beristirahat ngos-ngosan, gerombolan bule di belakang saya menyusul, lalu dengan santainya mendaki sambil memakai kaus tanpa lengan.
3. Perjalanan Akan Mengenalkanmu Pada Beragam Tipe Asli Orang: Kenali, Jangan Menghakimi
Beberapa teman—yang kebetulan adalah seorang pejalan—pernah berkata: “kalau kamu ingin mengenal karakter asli orang, siapa orang itu sebenarnya, ajak dia naik gunung.”Sebuah ungkapan yang telanjur judgemental memang. Sebab, menurut saya, ada banyak sebab yang mengakibatkan seseorang harus berada dalam kondisi tersebut. Mungkin saja, mereka punya tenggat, semacam target waktu pencapaian demi menakhlukan diri sendiri. Mungkin saja, dalam diri mereka ada hasrat yang menggebu-gebu untuk sampai di puncak. Atau mungkin, kecepatan berjalan mereka ya, memang sudah dari sananya secepat itu. Maka saya pun ikhlas-ikhlas saja melihat satu per satu rombongan mulai meninggalkan. Malah, saya menganjurkan agar mereka meninggalkan saya, sebab sudah kepalang tak tega jika harus membiarkan mereka mengikuti saya.
Tetapi dengan alon-alon asal kelakon, menapaklah saya satu-satu. Beberapa teman, yang saya kenal mendadak, dengan sabar menunggu saya. Ada pula yang menuntun, pelan-pelan. Akibatnya, saking tak enak-nya, sibuklah saya mengecek waktu. Sebentar-sebentar saya tanya jam, lalu segera panik begitu jam menunjuk angka empat pagi, padahal (katanya) baru separuh jalan. Jadilah sibuk saya meminta maaf, lalu terkadang mengusir para relawan baik hati sedari tadi sibuk menunggu untuk lebih dulu berjalan, melihat blue fire idaman yang katanya cuma ada dua tempat di dunia: Islandia dan Banyuwangi, Indonesia. Antisipasi kalau-kalau, waktu tidak memungkinkan dan akhirnya mereka gagal sampai tepat waktu.
4. Apa pun Kondisinya, Selalu Ada Cara Untuk Membuat Diri Termotivasi
“Oh,” jawab saya pendek, sependek-pendeknya, lalu tiba-tiba merutuki kebodohan saya yang punya prinsip: nggak lagi-lagi bertanya sama orang lokal. Jawabannya pasti “dekat”, “sebentar lagi”, padahal jauhnya bisa nggak ketulungan.Tetapi rasa pesimis saya mendadak kalah saat saya tanya bapak pengangkut belerang tentang bobot belerang yang biasanya ia bawa. “Ini cuma tiga puluh kilo, Mbak. Biasanya, bisa enam puluh sampai delapan puluh kilo,” katanya santai.
Saya langsung kaget. Tiga puluh kilo itu setara bobot adik kecil saya dua tahun lalu. Dalam sehari, mereka bisa bolak-balik, naik-turun hingga 3-4 kali.
Karenanya, saya pun termotivasi untuk berjalan cepat-cepat. Semakin cepat, semakin baik.
5. Terkadang, Apa yang Ingin Kita Capai Tak Selamanya Muncul Utuh di Depan Mata, Bila Tidak: Ikhlaskanlah. Selalu Ada Sisi Baik yang Bisa Diambil dari Setiap Hal
“Oh, yasudahlah, mau gimana lagi?” Saya yang sudah lemas, makin lemas.Seorang teman menghibur. “Yasudah, kita bisa keliling-keliling dulu. Bagus banget, nih.”
Sebuah kawah berwarna hijau-kebiruan terbentang luas di hadapan saya. Asap putih menyembul dari permukaannya. Orang bilang: pakailah masker, belerangnya sangat menusuk. Tetapi, sedikit buntung di awal ternyata berbuah untung. Bau belerang yang menusuk ini tidak punya efek pada hidung saya yang banal, karena mampet sedari awal.
Maka saya pun buru-buru sibuk naik undakan-undakan khas gunung yang mengitari saya, demi pemandangan indah dan berbeda dari ketinggian, sementara di sekeliling sibuk melakukan gerakan cepat: mencopot masker saat berfoto, lalu buru-buru memakainya karena tidak tahan bau belerang.
6. Seberapapun Jauh Kamu Melangkah, Akan Selalu Ada Tangan-tangan Tak Terlihat yang Menjagamu
Keberuntungan ke sekian hari ini. Cukup menyelamatkan bagi saya—pejalan super pemula yang lalai, merasa sudah cukup, lalu cenderung meremehkan. Bagaimana seandainya saya tidak hati-hati? Bagaimana jika di tengah jalan napas saya habis, di saat teman sekelompok justru meninggalkan? Semua pertanyaan itu membuat saya berpikir dan tersentil di tengah-tengah jalan turun. Dalam sebuah perjalanan naik dan turun gunung wisata yang sering kali terlihat remeh, dalam sebuah perjalanan hitungan dua-tiga jam, rupanya saya telah diingatkan.Semesta itu besar, ia luas dan tak berbatas. Sementara kita manusia, cuma berdiri kecil di tengah-tengahnya. Seperti debu yang bisa hilang dalam satu kibasan tangan, siapa kita berani merusak, lalu menantang angkuh seolah jadi yang paling kuat?
7. Alam Indonesia Memang Indah, Ironis Bila Justru Orang Luar yang Peduli Akan Hal Itu
Suatu hal yang cukup memalukan, mengingat orang lokal baru saja diingatkan oleh orang luar yang notabene, tidak memiliki suatu hubungan pun dengan alam Indonesia.
Saya menengok. Orang itu berbicara kepada salah satu temannya: ia pikir itu tempat sampah, sebab ada sampah serupa di sana. Tak jauh dari tempat ia membuang sampah, beberapa mural bertulis nama, inisial, hingga ucapan selamat menghiasi batu-batu besar di sisi kanan jalan. Saya membayangkan, si pria bule pastilah mengamuk jika melihat ini.Ya, ironis memang. Pria bule. Bukan orang Indonesia.
8. Jangan Meremehkan Alam
Sekitar pukul sembilan malam, akhirnya elf yang saya tumpangi sampai di rumah. Sehabis mandi dan bersih-bersih, saya menenggak satu tablet obat flu lalu tidur sepuasnya. Percayalah, dua hari setelahnya saya juga terpaksa beristirahat karena sakit dan menunda niat pelesiran saya sekian jenak. Kapok? Tentu saja tidak. Tapi yang jelas, saya akan persiapan dengan baik, dan jauh lebih berhati-hati di perjalanan berikutnya.*Tambahan:
Setelah agak sehat, sebetulnya saya sangat penasaran mengapa saya tidak bisa melihat blue fire yang sempurna. Setelah googling dan bertanya sana-sini, barulah saya mengerti, blue fire hanya bisa dilihat di malam hari, di mana pengunjung seharusnya sudah mendaki sejak pukul 00.00 WIB. Tidak disarankan pula mengunjungi Ijen saat musim penghujan, selain nyalanya lebih terang saat musim kemarau, juga cukup rawan karena Kawah Ijen kerap kali mengelurkan gas beracun saat musim penghujan.
Setelah mengetahui informasi ini, harus diakui saya sedikit menyesal karena mendadak memutuskan ikut trip tanpa persiapan. Blunder yang ke-sekian kalinya. Tapi ya sudahlah. Yang terpenting, selalu ada pelajaran yang bisa diambil. Toh, pergi ke suatu tempat bukan hanya tentang mengeksplorasi yang indah-indah saja, bukan?
Tags:
Tempat Wisata
0 Comments